Warmest regards

February 27, 2024

Hal Paling Mengganggu dari Pilpres Kali Ini

Creator: Osama Hajjaj

Sekitar 2 minggu yang lalu, Pemilu serentak nasional diadakan. Alhamdulillah, setelah Pemilu terakhir statusku masih lajang, Pemilu kali ini aku sudah berdomisili di Jakarta lagi setelah 4,5 tahun tinggal di Pekanbaru. Kemarin pun aku bisa datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) bareng Paksu. Alhamdulillaah. Di tengah beragam "chaos"nya pemilu kali ini, aku masih bahagia.

Seperti pemilu sebelum-sebelumnya, kontes politik selalu saja diwarnai berbagai kemelut, mulai dari berbagai transfer pemain, collab yang gak tertebak, bertebaran hoax, juga munculnya pemain baru. Sejujurnya, di sinilah kemampuan setiap manusia untuk "tabayyun" dan berpikiran jernih sangat penting untuk dipraktikkan setiap waktu.

Media sosial yang jadi medan pertempuran di pemilu kali ini juga cukup berbeda. Ada Tiktok yang jadi "markas"nya para generasi Z yang rata-rata baru akan menjalani pemilu untuk pertama kali. Twitter yang per tahun 2023 sudah "bancakan" (red: ganti nama) jadi X juga ngga kalah ramai. Di sini lebh didominasi oleh generasi Y, walaupun banyak juga generasi X, Z, bahkan baby boomers di sini. Facebook masih eksis juga, meskipun sudah banyak ditinggal oleh penduduk mudanya.

***

Setiap paslon memiliki plus dan minus poinnya masing-masing, itu pasti. Tugas kita sebagai subyek dari demokrasi adalah menyeleksi dengan sebaik-baiknya, hingga akhirnya menjatuhkan pilihan kepada yang terbaik. Paslon 01, ada Anies Baswedan dengan histori cap politik identitasnya, serta Muhaimin Iskandar dengan isu internal partainya yang tertimpa perpecahan. Di Paslon 02, ada Prabowo Subianto dengan histori kelam pelanggaran HAM, yang tiba-tiba menggandeng Gibran Rakabuming si nepo baby anak Presiden petahana. Di Paslon 03 ada Ganjar Pranowo dengan isu lingkungan (Wadas) dan kegagalan U-20, bareng Mahfud MD mantan menteri Polhukam yang beberapa kali dikritik sebagai misogynist.

Dari berbagai pergerakan, berita, dan gimmick politik di pilpres kali ini, sejujurnya ada satu hal yang paling mengganggu benakku secara personal. Tidak lain dan tidak bukan adalah kemunculan "mak njegagik" Gibran jadi Cawapres 02. Bukan apa-apa, bukan karena gimmick "nyari jawaban Prof Mahfud"nya, bukan tentang Sego Goreng Iwak Endog ataupun Greenflation, bukan juga tentang IPK-nya yang digadang-gadang "cuma" 2,3. Menurutku hal-hal itu cuma gimmick biasa, ngga berperan penting, dan bahkan ngga menggambarkan siapa dirinya.

Satu hal yang paling menggangguku dari seorang Gibran adalah bahwa dia adalah bentuk nyata nepotisme di Indonesia, yang membuat orang-orang tanpa privilege dan koneksi (sepertiku) harus berjuang lebih keras. Gibran adalah bentuk nyata dari privileged boy who try to look innocent, telling people that he worked so hard to achieve his recent position.

Sumber: Noice.id

No, not at all. Gibran bisa ada di posisi itu bukan karena kinerjanya cemerlang di tingkat Kota Surakarta. Bukan juga karena Gibran ahli negosiasi. Bukan juga karena Gibran pandai membangun network "Ring 1". Dia ada di kursi Cawapres karena ayahnya saat ini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. That's that. And that hurts me in my kororo.

Aku, dan barangkali jutaan orang lainnya, yang bukan anak siapa-siapa, tidak punya harta turunan orang tua, hingga usia menjelang 30 ini harus selalu bekerja keras untuk bisa lepas dari tanggungan orang tua. Syukur-syukur bisa biayai sekolah dan kuliah saudara. Sadar orang tua semakin berumur, aku dan semua orang tanpa privilege harus berusaha gimana caranya mengurangi beban orang tua. Lalu muncul Gibran Rakabuming. Semoga kalian pembaca bisa sedikit memahami apa yang aku rasakan, ya.

Ada sebuah momen yang aku inget banget, terjadi di awal aku lulus kuliah dan mulai kerja 'beneran'. Setelah sepanjang hidup ngga pernah bisa akrab dengan kata 'menabung'--boro-boro mau nabung, selama ini uang ya cukup untuk sekadar hidup-, akhirnya waktu itu aku dapat gaji tetap dan bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk tabungan. Beruntungnya juga, aku dapat teman-teman kantor yang suportif dan ngajarin aku investasi dikit-dikit, waktu itu mulai dari reksadana. Tapi namanya fresh graduate tanpa privilege, punya adik-adik yang masih sekolah pula, aku harus menguras tabunganku di bulan ke-6 untuk bayar UKT. Kalau dibilang terpaksa, ya, terpaksa, tapi sepenuhnya aku ikhlas. Di situ aku menyadari bahwa perjuangan orang tanpa privilege tidak ada garis finishnya.

Pesanku untuk semua orang, alangkah baiknya untuk akui privilege-mu, dan berbuat baiklah dengan itu.

No comments:

Post a Comment