Warmest regards

February 9, 2021

Perihal Memilih Jatuh Hati

Sampai saat ini aku masih aktif twitteran, dan kemarin aku baca sebuah tweet yang cukup menohok mata dan batin. Ini dia tweetnya:

Tweet itu jadi menohok tentunya karena sangat relatable af. Udah sangat, pakai af pula kan. Tweet itu bikin aku mikir, kenapa Tuhan ngga mengizinkan kita memilih kepada siapa kita menjatuhkan hati aja, sih? Biar hidup manusia berkurang 50% kesedihannya. Hahaha. Karena yah, nyatanya percintaan selain membawa rasa bahagia, tak jarang juga membawa patah hati dan kesedihan. Sebabnya apa? Mostly, ya karena orangnya ngga tepat.

Aku jadi pengen cerita sedikit tentang apa yang pernah aku alami. Aku pernah ketemu seseorang yang, entah kenapa, asik banget untuk diajak ngobrol dan berteman. Kami punya banyak kesamaan dan, pada saat yang sama, banyak perbedaan juga. Kesamaan itu membuat kita merasa nyaman, sedangkan perbedaan membuat setiap obrolan jadi lebih menyenangkan. Long story short, saking nyamannya, kami saling jatuh hati.

Apakah jatuh hati membawa dampak ke tingkat kecocokan tadi? Enggak, justru everything seems fine and all. Setiap waktu bersama kami rasanya selalu berjalan cepat karena obrolan tiada henti dengan berbagai topik. Aku berani bilang bahwa kami adalah partner brainstorming yang ideal, ngga segan menyampaikan counter-opinion, dan tentunya no hard feeling. Tapi, ada satu hal yang berubah, bukan dari bagaimana hubungan antara dia dan aku, melainkan bagaimana kami dengan ekspektasi masing-masing (oke, kembali ke manajemen ekspektasi di post sebelumnya). Long story short (again), karena ada ekspektasi-ekspektasi yang ngga sanggup kami penuhi, kami menyudahi masa-masa jatuh hati itu.

Yang jadi menarik adalah ketika kami kembali ke garis batas 'asing' sebelum jatuh hati--yah ngga asing-asing amat sih, he was and still my friend tho--aku jadi sadar bahwa tweet di atas ada benarnya; bahwa beberapa orang memang ditakdirkan untuk jadi teman saja. Teman dengan kesediaannya untuk selalu saling bantu, saling support, dan saling mendoakan yang terbaik. And that's enough. Tentu ada masa-masa peralihan yang rasanya ngga enak-enak amat (siapa suruh jatuh cinta segala??). Tapi ketika itu sudah terlewati, kami bisa kembali merajut obrolan seru seperti dulu.

Balik ke pertanyaanku tadi. Kenapa Tuhan ngga mengizinkan manusia memilih kepada siapa akan jatuh cinta? Apa Tuhan suka genre drama-romantis penuh konflik dan air mata? Atau, barangkali Tuhan mengamini tagline Chitato yaitu "Life is never flat"?

Atau jangan-jangan, sebetulnya kita bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta, ya? Ah, tapi rasanya engga. Kalau bisa, tentunya aku ngga akan memilih untuk jatuh cinta dengan seorang teman lagi. Hehe.

No comments:

Post a Comment