Dalam sebuah perbincangan, temanku pernah berkata bahwa berada dalam sebuah hubungan romansa membuat banyak hal jadi lebih ribet. Perasaan romansa yang terlibat secara ngga disadari mengarahkan sikap kita dalam banyak situasi. Misalnya, ketika jam makan malam tiba, perut sudah lapar tapi perasaan yang ada membuat kita menanyakan pasangan kita kapan mau makan. Padahal sebetulnya langsung makan saja pun tidak apa-apa, kan? Tapi yah namanya sayang, kalau bisa makan bareng, bareng atuh~~ Atau contoh lain, ketika kita berencana membeli gadget yang sudah kita incar cukup lama. Perasaan kita kepada pasangan membuat kita menanyakan pendapatnya dahulu. Syukur-syukur setuju, gimana kalau jawabannya, "Ih kok pilih brand itu, nanti hp kita ngga sama dong :(" Lalu rencana beli gadget dikubur dulu sampai entah kapan.
Segala keribetan itu punya hulu yang sama: ekspektasi. Perasaan hadir bersama ekspektasi. Ada ekspektasi yang terbangun secara tidak disadari ketika perasaan romansa mulai took over otak kita. Kalau yang makan malam tanpa ngabarin itu teman kantor kita biasa, tentu tidak masalah. Tapi kalau kekasih kita tiba-tiba makan "ngga ngajak-ngajak", pasti ada perasaan kecewa meski sedikit. Ekspektasi. Kita berekspektasi kepada pasangan bahwa dia akan mengajak kita makan. Lalu ekspektasi tidak ketemu dengan realita, hasilnya kecewa.
Duh, ribet banget, ya?
Ada kutipan, "If loving someone felt so hard, then maybe he/she's not for you". Aku setuju. Menyayangi seseorang seharusnya bisa mudah karena sebetulnya kita hanya perlu melakukan 1 hal: memberikan kasih sayang kepada orang yang juga akan memberikan kasih sayangnya ke kita. Tidak perlu banyak menambahkan bumbu pamrih. Tidak perlu berharap dia akan cepat membalan pesan singkat kita hanya karena kita juga selalu membalas cepat. Tidak perlu berharap dia akan mengucapkan "Goodnight my dearest" setiap malam hanya karena kita selalu mengucapkan hal tersebut. Tentu, aku rasa harapan bahwa dia juga akan membalas kasih sayang yang kita berikan itu pasti ada. Tapi harapan atau ekspektasi ini lah yang perlu diatur agar tidak masuk ke zona pamrih.
Ketika menjalani suatu hubungan rasanya berat, mungkin memang bukan dengan orang yang tepat. Mungkin ekspektasi kita terlalu tinggi. Atau mungkin pasangan tidak bisa memenuhi ekspektasi yang ada. Dan siapapun memiliki hak dan pilihan untuk mengakhiri hubungan yang ada. There's nothing wrong with that.
Menjaga ekspektasi diri sendiri menjadi senjata pamungkas menampik kekecewaan. Sesuai dengan paham filsafat Stoisisme yang aku anut, lebih baik kita berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Karena sedekat apapun hubungan kita dengan seseorang, selama apapun hubungan sudah terjalin, bagaimana pasangan akan memperlakukan kita sepenuhnya ada di kendali dia, dan bukan di bawah kendali kita. Kalau mau punya pasangan yang bisa dikendalikan, mungkin kamu perlu menikahi diri sendiri saja.
Keep our expectation low is the key, not only for a better relationship, but also a good life. Yep. Mungkin menjalankannya ngga akan semudah aku mengetik tulisan ini, ya. Memang, manajemen ekspektasi ini sebuah habit yang--seperti habit pada umumnya-- perlu dimulai dan diasah terus. Lalu bagaimana mulai berlatih manajemen ekspektasi?
Coba mulai dari memahami hal dasar stoisisme yang aku sebutkan di atas, bahwa ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada pula hal-hal yang di luar kendali kita. Pukul berapa pasangan kita datang menjemput ke rumah adalah hal di luar kendali kita. Sedangkan, bagaimana kita menyikapi diri ketika pasangan terlambat datang 1 jam adalah hal yang ada di bawah kendali kita.
Otak dapat kita arahkan untuk berfokus pada hal yang bisa kita kendalikan itu. Alih-alih menggerutu 3 hari 3 malam karena keterlambatan itu, alangkah lebih baik jika kita menanggapi dengan tenang dan tidak terlalu mempermasalahkannya. Cukup sampaikan bahwa kita kecewa karena dia datang terlambat, dan bahwa kita berharap selanjutnya tidak terulang lagi. Selesai, kan? Selanjutnya apakah dia akan berusaha untuk tidak terlambat lagi, sepenuhnya ada di kendalinya. Jika dia tidak berubah, dan kita tidak bisa menerimanya, kembali ke kutipan tadi, "If loving someone felt so hard, then maybe he/she's not for you".
Cara selanjutnya untuk mengasah manajemen ekspektasi adalah mulai belajar mengomunikasikan gagasan/hal yang kita rasakan. Banyak permasalahan muncul karena komunikasi. "Kamu ngga ngertiin aku?" padahal sehari-harinya berkomunikasi dengan bahasa "aku gapapa kok". Orang-orang seperti ini perlu coba pacaran sama dukun kali ya. Romy Rafael sama Deddy Corbuzier pun rasanya ngga sanggup. Mengapa mengungkapkan perasaan erat kaitannya dengan manajemen ekspektasi? Karena pasangan kamu ngga bisa baca pikiran, sayang. Dengan menyatakan gagasan dan perasaan, kita cukup menunggu tanggapan darinya saja, tanpa perlu berharap dia akan baca pikiran kita dulu, atau bakar menyan dulu, atau nyembur pakai jampi-jampi dulu.
Soal perasaan ini memang tidak pernah normal-normal saja, ya. Mengutip lirik lagu Blackpink - Lovesick Girl,
Endless night
Love trapped us in a windowless room
What can we say?
Long for love even though it hurts every time
Udah tau bahwa hubungan romantis itu banyak perintilannya, banyak sakit hatinya, tapi tetap dijalani. Kalau kata Hindia, "Rumah ke Rumah". Hahaha. Namanya juga manusia.
Setuju banget! ㅠㅠ
ReplyDeleteSetuju banget sama yang bagian mana nih? Hahaha
Delete