Kurang lebih lima tahun aku udah menjalani sebagian besar hidupku di luar kota tempat aku dilahirkan yaitu Yogyakarta. Setelah kota ini, Depok dan Jakarta jadi rumah keduaku. Lima tahun bukan waktu yang singkat loh, tapi ngga begitu terasa lama. Bahkan beberapa kali aku tertegun sendiri dalam hati,
"Udah lima tahun????"
Depok dan Jakarta. Yang tadinya asing, jadi asik. Yang awalnya ngeri, jadi berarti.
Masih teringat betul gimana impresi awalku untuk Jakarta. Satu kata: NGERI. Stasiun Jatinegara jadi tempat berlabuhku pertama kali. Ibarat Cornelis de Houtman saat pertama kali datang ke bumi Indonesia, stasiun Jatinegara adalah Pelabuhan Banten-nya. Kereta yang aku naiki memasuki Bekasi, lalu lanjut melalui beberapa stasiun hingga akhirnya sampai di Jatinegara. Saat itu dini hari tapi masih banyak, atau sudah banyak saja orang beraktifitas, mulai dari jual-beli hingga menawarkan jasa taksi. Untungnya aku ngga menunggu lama hingga om-ku datang menjemput.
Paginya aku ke Depok, tepatnya ke rumah Bu Lusi di daerah Cinere. Kesan pertamaku untuk Depok ngga begitu teringat sih, karena badan dan pikiranku hanya tertuju ke satu hal: aku ngga sabar ke UI!
Baca juga: 16 Hari di Depok
Long story short, aku mulai menjalani hari-hari sebagai mahasiswa dan, well, penduduk Depok City. Mulai dari tinggal di Asrama UI, lalu ngekos di Kutek, lalu pindah kosan di Margonda bareng Tania. Margonda? Khatam. Kutek Kukel? Hari-hari itu mah!
Masuk semester 8 sekitar akhir tahun 2016 aku pindah ke Jakarta karena udah ngga ada kuliah dan mulai magang di Fave Indonesia yang kantornya di bilangan Sudirman, Jakarta Pusat. Masa-masa mulai jarang menyentuh Depok sampai-sampai tiap ke Depok aku langsung instastory saking jarangnya. Aku makin akrab dengan beberapa wilayah di Jakarta dan mungkin secara ngga langsung aku mengadaptasi cara orang hidup di Jakarta.
Baca juga: New Longing Target, Fave Indonesia
Dengan segala hiruk pikuk, kegilaan, dan gedung pencakar langitnya, ngga butuh waktu lama untuk aku jatuh cinta dengan Jakarta. Haha. Sayang aja gitu loh, kayak... ya gitu deh.... kayak, gue tuh.... sayang aja gitudeh pokokn....
Nah, setelah aku sedikit menganalisis, rasanya aku menemukan sebab masuk akal mengapa aku bisa fall for Jakarta. Untuk membahas ini, terlebih dulu aku mau share hasil yang aku dapat pada tes 'Love Languages' yang diprakarsai Gary Chapman. Jadi, 'Love Languages' itu 'bahasa' seperti apa yang menurut kita lebih berarti dalam hal menunjukkan kasih sayang. Hasilnya adalah peringkat kita untuk 5 kategori love languages yang ada:
1. Words of Affirmation -- ditunjukkan dengan kata-kata suportif, apresiatif, atau sekadar 'aku sayang kamu'.
2. Act of Service -- kemauan pasangan untuk melakukan hal yang kamu butuhkan, membantumu, antar/jemput misalnya.
3. Receiving Gifts -- kejutan-kejutan kecil, barang sederhana untuk hadiah, atau barang mahal juga bisa (banget).
4. Quality Time -- ngga perlu banyak cingcong babibu babibu, yang penting sempatkan bertemu dan menghabiskan waktu bersama.
5. Physical Touch -- genggaman tangan saat jalan bareng, pelukan, cium kening, hal-hal yang berbau sentuhan fisik.
Dan hasil yang aku dapat adalah:
#1 Act of Service
#2 Quality Time
#3 Words of Affirmation
#4 Receiving Gifts
#5 Physical Touch
#1 Act of Service
#2 Quality Time
#3 Words of Affirmation
#4 Receiving Gifts
#5 Physical Touch
Lalu apa hubungannya dengan kecintaanku terhadap Jakarta? Hahaha
Menurutku, Jakarta udah memberikan banyak 'services' buatku pribadi, sesuai hasil peringkat pertama di tes itu. Jakarta sejauh ini memberikan aku pengalaman bekerja di 2 perusahaan. Jakarta mempertemukan aku dengan sahabat baru, keluarga baru, bahkan pacar. Jakarta bikin aku belajar untuk bertahan hidup. Jakarta bikin aku jadi orang yang lebih dinamis dan terbuka dalam hal pemikiran. Dan banyak services lainnya oleh Jakarta.
Peringkat kedua yaitu Quality Time. Gak perlu dijelasin lebih lanjut lah ya, betapa banyak quality time-ku dengan kota ini.
Jadi bisa disimpulkan bahwa cinta yang tumbuh adalah sejatinya 'love languages' yang tersampaikan dengan tepat. Jadi, buat kalian yang lagi PDKT, coba suruh doi tes Love Languages-nya Gary Chapman itu. Linknya mana? Di sini.
Cinta dengan Jakarta bukan berarti aku ngga menyadari ketidaksempurnaannya kok. Aku sadar betul bahwa kota ini juga masih banyak kurangnya. Transportasi publik belum disiplin waktu, jalanan macet, polusi udara yang tinggi, dan jangan lupakan tukang gorengan yang tersebar di hampir semua ruas jalan (gorengan itu ngga ada sehat-sehatnya tapi kok enaknya masyaAllah sekali T__T ).
Tapi, yah, kota mana sih yang sempurna? #ASEK
Jogja yang dielu-elukan sejagad Indonesia aja masih banyak kurangnya.
Yang pasti, kalau kamu udah sayang sama seseorang/sesuatu, kamu pasti mencoba menerima kekurangannya dan mendoakan semoga ia jadi lebih baik seiring berjalannya waktu. #ANJAY
No comments:
Post a Comment