Warmest regards

April 27, 2017

Beasiswa Salah Sasaran?

Siang ini aku menemukan sebuah kiriman di linimasa aplikasi Line dari seseorang berinisial AH. Kiriman sejak April, 2016 itu cukup menarik perhatian banyak orang, dengan--nggak tanggung-tanggung-- 3.948 likes, 359 komentar, dan 3.480 kali dibagikan (per 16 April 2017, 14:52 WIB). Tulisan itu mengangkat tentang bagaimana beasiswa untuk mahasiswa seolah "salah sasaran" karena justru lebih banyak diterima oleh kaum yang berkecukupan. Atau bahkan justru digunakan untuk "foya-foya" membeli gadget atau lainnya.



Di kiriman tersebut, disebutkan bahwa saat pertemuan penerima beasiswa dari sebuah organisasi (sebut saja PGN), panitia acara mengumpulkan ponsel seluruh peserta acara dalam sebuah kardus. Dari kardus tersebut, pembicara mengambil salah satu ponsel yang kebetulan adalah IPhone 5/5s gatau ku lupa tepatnya. Intinya itu hape bagus yang gak cukup dibeli dengan 3 bulan duit beasiswa yang diberikan. Kemudian, yah seperti yang bisa diprediksi, pembicara membahas bagaimana mahasiswa suka "melencengkan" dana beasiswa yang diberikan, dan seakan-akan, beasiswa jadi salah sasaran.

Baik.
Hm.

Aku adalah salah satu penerima sebuah beasiswa resmi dari Dikti (namanya Bidik Misi). Beasiswa ini didasarkan pada kondisi ekonomi pendaftar, ditujukan bagi mereka yang kurang mampu. Beasiswa selama 8 semester kuliah ini mencakup biaya pendidikan (full), dan uang saku perbulannya yang jumlahnya berbeda di setiap Perguruan Tinggi. Untuk Universitas Indonesia (UI), uang saku yang diberikan adalah Rp600.000,-/bulan yang turun setiap 3-6 bulan sekali (ngga tentu).

Judulnya aja "memutus mata rantai kemiskinan"
http://bidikmisi.belmawa.ristekdikti.go.id/

Aku sangat bersyukur bisa jadi salah satu penerima beasiswa ini karena pada saat aku akan lulus SMA +/- 4 tahun yang lalu, kondisi ekonomi di keluarga lagi cukup menyedihkan. Haha. Emak yang sekaligus kepala keluarga saat itu tertimpa musibah sehingga keuangan betul-betul berhenti, ayah  ada sih tapi no hope, sementara kakakku masih kuliah belum bekerja, dan adek-adek masih pada netek ibunya. Ngga ngga, canda, mereka masih sekolah di bangku SD dan SMP. Bayangkan. Singkat cerita, aku lulus SMA, dan alhamdulillah keterima di PTN. Meskipun PTN yang notabene biayanya gak semahal PTS, aku masih pesimis akan bisa terus kuliah karena ngga ada biaya.

Dan beasiswa ini muncul.

Berbagai persyaratan dari mulai surat RT, RW, SKTM, foto rumah, segala kelengkapan berkas harus disiapkan dalam waktu yang ngga lama, dan aku urus sendirian. Singkat cerita lagi, alhamdulillaah aku diizinkan Allah jadi penerima beasiswa, dan berangkatlah aku ke Jakarta untuk mulai kegiatan kuliah.

Beli HP Pakai Uang Beasiswa
Iya, saat pertama uang beasiswa turun, yang aku lakukan adalah membeli HP baru. HP android lebih tepatnya.
Wah parah duit beasiswa malah dibuat beli gadget.
Nope. Duit beasiswa aku gunakan untuk memenuhi kebutuhan. Dan alhamdulillah, dengan HP itu kuliah jadi lebih lancar karena segala informasi dibagikan ya melalui internet (whatsapp, Line, FB, Twitter, dll). Hampir ngga ada informasi yang dibagikan melalui jarkom SMS (yakali ah emangnya promo dunk*n donat). Jadi kalau dibilang, membeli HP atau barang-barang "mewah" dengan uang beasiswa itu salah, well, harus dilihat lagi gimana barang tersebut bisa menunjang studinya. Soal harga yang mungkin bisa jutaan? Well, banyak cara, cuy. Hadiah lah, secondhand lah, KW lah, nabung lah. Bisa, kan? :D

Beli HP ini pakai beasiswa :))

Foya-foya Pakai Uang Beasiswa
Kembali aku state bahwa uang saku yang diberikan adalah sebesar Rp600.000,-/bulan. Sementara, biaya hidup di Depok bisa kita hitung sendiri deh apakah terpenuhi seluruhnya dengan uang tersebut. Biaya hidup itu mencakup uang kos/asrama, uang makan, uang transport, uang pulsa, dan lainnya. Bukan aku mau bilang bahwa uang yang diberikan itu gak cukup. Tapi uang tersebut memang hanya bersifat "tunjangan", yang memang gak akan menutup biaya hidup sepenuhnya.

Jadi penerima beasiswa "kurang mampu" bukan berarti harus terlihat menyedihkan. Adanya beasiswa, menurutku, adalah sarana untuk menunjang yang sebetulnya "agak menyedihkan" jadi tetap bisa berkompetisi dengan yang lainnya tanpa ada rasa rendah diri.

Di zaman yang serba instan ini, jangan suka instan menghakimi orang, karena setiap orang adalah "ice berg" raksasa di tengah Antartika. Yang kita bisa lihat cuma secuil dari perjalanan hidupnya.

Ini ni manusia kayak begini ni

3 comments: